Bulukumba – Aroma pungutan liar (pungli) mulai tercium di kawasan Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Bontobahari. Sejumlah aktivis dan nelayan resah atas adanya oknum yang diduga menarik uang retribusi tanpa legalitas jelas. Mereka pun mendesak aparat penegak hukum (APH) bertindak cepat sebelum praktik ini menjadi “lahan basah” yang merugikan masyarakat pesisir.
Dari pantauan lapangan, beberapa orang terlihat berdiri di pintu masuk PPI Bontobahari memungut uang parkir untuk kendaraan roda dua dan roda empat. Namun ironisnya, sebagian besar dari mereka diduga tidak memiliki surat tugas resmi dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Selatan.
Aktivis muda Bulukumba, Ahmad, menilai praktik itu mencederai keadilan dan mencoreng nama instansi pemerintah.
“Kami menduga hanya satu orang dari mereka yang punya surat tugas. Itupun perlu dicek lagi keabsahannya. Kalau tidak ada dasar hukum yang jelas, ini bisa dikategorikan pungli,” tegas Ahmad, Kamis (13/11/2025).
Ia meminta Polres Bulukumba dan DKP Sulsel turun langsung menelusuri siapa yang memberi wewenang kepada oknum tersebut.
“Ini pelabuhan milik rakyat, bukan milik segelintir orang yang seenaknya memungut uang. Jangan biarkan masyarakat kecil diperas atas nama retribusi,” ujarnya lantang.
Beberapa nelayan yang ditemui wartawan juga menyuarakan keluhan serupa. Mereka merasa terganggu dengan sistem pemalangan di pintu masuk PPI yang dianggap menghambat aktivitas melaut.
“Kami sering harus berhenti lama hanya untuk menjelaskan kalau kami ini nelayan. Kadang kalau tidak mau bayar, dipersulit masuk. Ini jelas tidak adil,” tutur seorang nelayan dengan nada kesal.
Ahmad juga mengingatkan DKP Sulsel agar tidak gegabah dalam menerapkan kebijakan tanpa sosialisasi dan kajian matang.
“Sebelum menarik retribusi, harus dipastikan dulu apakah PPI Bontobahari memang sudah layak diberlakukan tarif masuk. Kalau belum, hentikan dulu kegiatan itu. Jangan jadikan nelayan korban kebijakan tanpa dasar,” tegasnya.
Aktivis itu menambahkan, PPI Bontobahari seharusnya menjadi pusat ekonomi rakyat, bukan tempat subur bagi oknum mencari keuntungan pribadi.
“Kalau pemerintah diam saja, berarti mereka ikut menikmati hasilnya. Ini yang tidak boleh terjadi,” pungkasnya.
Masyarakat kini menanti sikap tegas dari aparat penegak hukum. Jika dibiarkan, praktik “retribusi liar” ini dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk di sektor kelautan Bulukumba.





