Refleksi Sumpah Pemuda serta giat Harapan ke Depan

Bulukumba – Sumpah Pemuda yang lahir pada 28 Oktober 1928 merupakan tonggak sejarah yang menandai lahirnya kesadaran kebangsaan Indonesia. Ikrar yang sederhana—satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia—menjadi titik balik dari kesadaran kolektif bangsa terhadap jati diri dan nasibnya sebagai satu kesatuan yang utuh.

Namun, untuk memahami makna terdalam dari Sumpah Pemuda, kita perlu melihatnya bukan hanya sekadar sebagai peristiwa historis, melainkan juga sebagai peristiwa filosofis dan moral yang membentuk identitas bangsa hingga hari ini.
Dari kacamata filsafat, Sumpah Pemuda mencerminkan kesadaran eksistensial bangsa Indonesia. Soekarno, menilai Sumpah Pemuda sebagai momentum ketika manusia Indonesia menyadari “ada”-nya sebagai bangsa yang satu. Ini adalah bentuk kesadaran ontologis.

yakni pemahaman bahwa eksistensi Indonesia bukan sekadar kumpulan suku dan daerah, melainkan satu tubuh yang hidup dalam semangat persatuan menuju Kemajuan.

Ki Hajar Dewantara memperluas makna itu melalui perspektif pendidikan, bahwa kemerdekaan sejati harus berakar pada kebebasan batin dan kebersamaan dalam keberagaman. Sementara dalam kacamata eksistensialis seperti Soeren Kierkegaard, Sumpah Pemuda dapat dimaknai sebagai leap of faith, lompatan keyakinan menuju identitas nasional, di mana para pemuda memilih secara sadar meninggalkan ego kesukuan demi cita-cita yang lebih besar.

Dalam pandangan intelektual bangsa, Sumpah Pemuda juga merupakan ekspresi kesadaran politik dan kultural. Mohammad Hatta melihatnya sebagai hasil pemikiran rasional bahwa kemerdekaan hanya bisa diraih melalui persatuan seluruh rakyat. Sutan Takdir Alisjahbana menilai peristiwa itu sebagai tanda kebangkitan modernitas bangsa Indonesia, yang berani berpikir maju dan terbuka terhadap perubahan.

Nurcholish Madjid menafsirkan Sumpah Pemuda sebagai simbol integrasi moral dan spiritual, yaitu kesediaan untuk mengutamakan nilai kemanusiaan dan keindonesiaan di atas identitas sektoral.

Sedangkan Franz Magnis-Suseno menekankan bahwa nasionalisme yang lahir dari Sumpah Pemuda haruslah nasionalisme yang manusiawi nasionalisme yang menghormati martabat setiap individu dan merayakan keberagaman.

Refleksi atas Sumpah Pemuda membawa kita pada harapan besar bagi generasi masa kini. Di era digital yang sarat polarisasi dan disinformasi, pemuda dituntut menjadi penjaga moral dan persatuan bangsa.

Nilai “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” harus dimaknai ulang sebagai Satu Tujuan: Indonesia Maju. Persatuan bukan lagi hanya semboyan, tetapi kerja nyata lintas suku, agama, dan profesi untuk membangun bangsa. Pemuda Indonesia juga diharapkan menjadi inovator yang kreatif, penggerak perubahan sosial, serta pionir dalam mewujudkan keadilan dan keberlanjutan lingkungan.

Lebih dari itu, Sumpah Pemuda mengajarkan pentingnya nasionalisme inklusif nasionalisme yang tidak menindas perbedaan, melainkan menumbuhkan harmoni di dalamnya. Tantangan pemuda masa kini bukan lagi kolonialisme fisik, melainkan kolonialisme baru dalam bentuk ketergantungan budaya, ekonomi, dan informasi.

Oleh karena itu, generasi muda harus membangun kemandirian berpikir, kemampuan kritis, serta moralitas sosial yang kuat.
Pada akhirnya, Sumpah Pemuda bukan sekadar teks sejarah yang dibacakan setiap 28 Oktober, melainkan janji moral dan eksistensial yang harus terus dihidupkan. Ia adalah simbol pencerahan nasional titik di mana bangsa ini menemukan jiwanya. Harapannya, setiap generasi muda mampu menyalakan kembali api Sumpah Pemuda dalam bentuk yang relevan dengan zamannya. Bangun dengan Spirit Iman, berjalan dengan berpikir kritis, bertindak etis, dan berjuang untuk kemajuan Indonesia yang adil, damai, dan berdaulat.

Pos terkait