Negara Jangan Buta! Tambang Rakyat Butuh Pengakuan, Bukan Penertiban “Berpihaklah pada Isi Perut Rakyat Kecil, Bukan Kantong Korporasi”

HALSELGelombang suara dari rakyat kecil kembali menggema dari Desa Kusubibi, Halmahera Selatan. Aktivitas tambang rakyat yang sempat dihentikan dengan alasan perizinan dan keselamatan kini menuntut keadilan. Warga berharap pemerintah tak lagi memandang tambang rakyat sebagai masalah, tapi sebagai potensi ekonomi rakyat kecil yang layak dilindungi dan dilegalkan.

Lebih dari 300 warga menggantungkan hidup dari aktivitas tambang emas di desa itu, mulai dari penambang, pengangkut, hingga pedagang kecil di sekitar lokasi. Mereka bukan perusak, tapi pejuang perut yang setiap hari bertaruh nyawa demi sesuap nasi.“Kami tidak minta belas kasihan. Kami hanya ingin diakui dan diberi izin resmi. Kalau ada aturan, kami siap patuh,” tegas seorang penambang senior dengan mata berkaca-kaca.

Praktisi hukum Maluku Utara, Darman Sugianto, SH., MH, menegaskan bahwa fenomena tambang rakyat bukan sekadar soal izin, tapi soal konstitusi dan keadilan sosial-ekologis.“Pasal 33 UUD 1945 sudah jelas: bumi, air, dan kekayaan alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tapi faktanya, rakyat kecil sering jadi korban kebijakan tambang yang berat sebelah,” ujar Darman.

Menurutnya, pemerintah daerah semestinya menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan memberikan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) agar aktivitas tambang di Kusubibi bisa berjalan legal, aman, dan terpantau. Lebih dari itu, negara harus hadir memberikan pelatihan, pengawasan lingkungan, dan pendampingan teknis, bukan sekadar operasi penertiban yang menutup ruang hidup rakyat.

“Kalau tambang besar bisa menguasai ribuan hektare, kenapa rakyat kecil dilarang menambang beberapa meter untuk hidupnya? Ini bukan keadilan, ini ketimpangan,” tandasnya.

Darman menyebut bahwa langkah represif tanpa solusi justru melanggar prinsip keadilan sosial dan ekologis, sekaligus bertentangan dengan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba dan semangat Artisanal and Small-Scale Mining (ASM) yang diakui secara nasional.

“Negara harus berpihak pada isi perut rakyat kecil, bukan pada isi rekening korporasi besar,” sindir Darman tajam.

Masyarakat Kusubibi kini menaruh harapan besar kepada Pemkab Halmahera Selatan untuk segera menetapkan lokasi tambang mereka sebagai WPR resmi. Dengan legalisasi, semua pihak akan diuntungkan—mulai dari tertib retribusi daerah, keselamatan kerja yang terjamin, hingga kelestarian lingkungan yang terpantau.

Darman pun mengusulkan pembentukan tim terpadu yang melibatkan pemerintah daerah, ESDM, akademisi, dan tokoh masyarakat, agar legalisasi tambang rakyat bisa direalisasikan pada tahun 2026.

“Ini bukan soal pemberian hak istimewa,” pungkas Darman, “tapi pengakuan konstitusional bagi rakyat kecil yang selama ini menghidupi keluarganya dari bumi dan mineralnya sendiri.”

Sumber: Haji’ Yasin


 

Pos terkait