Jakarta – Presiden Prabowo Subianto menyatakan kesiapannya menanggung tanggung jawab atas proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh yang kini dilaporkan merugi triliunan rupiah.
Namun, pernyataan itu justru memantik sorotan tajam dari kalangan pengamat. Direktur Pusat Riset Politik, Hukum, dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam, menegaskan bahwa komitmen Prabowo tidak boleh dijadikan tameng untuk menghentikan proses hukum terhadap dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam proyek tersebut.
“Ucapan Presiden tidak bisa menghalangi KPK menelusuri potensi penyimpangan. Publik dan penegak hukum harus tetap mengawasi agar dugaan mark up dan penyalahgunaan dana proyek Whoosh tidak menguap,” tegas Saiful, Sabtu (8/11/2025).
Proyek KCJB yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) sejak 2016 menelan investasi jumbo senilai 7,27 miliar dolar AS atau sekitar Rp118,37 triliun, termasuk pembengkakan biaya sebesar 1,2 miliar dolar AS.
Empat BUMN Indonesia tergabung dalam konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang menjadi pemegang saham mayoritas di PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Namun, kinerja keuangan menunjukkan sinyal merah. Berdasarkan laporan PT KAI per 30 Juni 2025 (unaudited), PSBI mencatat kerugian Rp4,195 triliun sepanjang 2024 dan kembali merugi Rp1,625 triliun hanya dalam enam bulan pertama 2025.
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memulai penyelidikan dugaan korupsi proyek Whoosh sejak awal tahun ini.
“Penyelidikan sudah berjalan sejak awal 2025. Kami memastikan tidak ada praktik KKN yang merugikan keuangan negara,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo.
Publik kini menanti langkah tegas lembaga antirasuah untuk mengungkap apakah kerugian besar proyek ambisius ini semata karena faktor bisnis, atau ada “jalur cepat” korupsi di baliknya.(***)





